KONSEP BID'AH DALAM ASWAJA
KONSEP
BID’AH DALAM ASWAJA
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu
kelompok umatIslam yang setia mengamalkan sejumlah ritual-ritual keagamaan
seperti tahlil, ziarahkubur, maulid, kerap dijadikan sasaran kelompok lain
dengan klaim syirik, murtad, taqlid dan melakukan bid’ah. Dan hal itu yang
menyebabkan keresahan di warga NU.
hal ini menjadikan warga NU
memberikan respon terhadap aksi radikalisme yang diakukan oleh wahabi dan warga
NU melakukan penetrasi sebagai alternatif penanganan radiklisme yang
menyesatkan bid’ah bagi kalangan wahabiNU sendiri membantah adanya hal tersebut
hal ini dikerenakan tidak adanya dali yang menerangkan bahwa Bid’ah tidak sesat
karena didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum ada sebelumnya atau
belum ada dialquran maupun hadis dan NU selalu mengambil posisi di garda
terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi keagamaan lokal tersebut dari
serangan kaum Wahabi. Selain itu juga menyelenggarakan Kampanye anti-Wahabisme
ini tampaknya bukan saja bergema di kalangan struktutal NU, melainkan juga
telah menjadi isu utama di kalangan kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU
di jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan dengan kalangan kaum tua
yang ada di struktur dan pesantrenpesantren, kini tampak kompak dan bertemu
dalam isu besar anti-Wahabisme.
Begitu pula sumberdaya struktural
berupa kelengkapan organisasi yang dimiliki
oleh NU mulai dari tingkat pusat
(PBNU) hingga tingkat Ranting yang berada
di pedesaan, dimobilisir untuk
membendung ekspansi dakwah Wahabi. Rasa
keterancaman terhadap Wahabisme
seolah telah membangkitkan kembali soliditas
dan solidaritas gerakan sosial NU
yang sebelumnya banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat
keterjebakan mereka dalam kubangan politik praktis.
Selain itu juga adanya rekonsolidasi
dan revitalisasi terhadap semua sumberdaya, baik yang bersifat diskursif
seperti aqidah dan amalaiyah, maupun terhadap semua aset
yang dimiliki NU. Berikut ini akan
digambarkan beberapa respon yang diberikan
oleh kalangan NU, baik dari
struktural maupun dari kelompok kultural, terhadap
fenomena ekspansi gerakan Wahabisme
kontemporer.
- RUMUSAN PEMBAHASAN
- Bagaimana perspektif Aswaja tentang bid’ah ?
- Bagaimana Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
- TUJUAN PEMBAHASAN
- Menjelaskan perspektif Aswaja tentang bid’ah
- Menjelaskan Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian Bid’ah
Kata bid’ah berasal dari kata
bada’ah. Kata ini memiliki pengertian. “membuat sesuatu yang baru, yang tidak
pernah ada sebelumnya.Bid’ah secara bahasa semua perkara baru yang belum pernah
ada sebelumnya.Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang
diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Jadi dapat
disimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatu perkara baru yang belum ada sebelumnya
yang diadakn oleh ulama yang belum ada sumbernya dari hadis dan
alqur’an.Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain 1.Firman Allah,
Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ
صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah
Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak
mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
- Dalil tentang bid’ah adalah sebagai berikut : وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ.
Artinya :
“Sesungguhnya ucapan yang paling
benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di
neraka.” (HR. An-Nasa’i)
- Macam – macam Bid’ah
Bid’ah terbagi dua, yaitu :
- Bid’ah hasanah
Yaitu : Perkara baru yang termasuk
baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat
atau Ijma
Contohnya sholat tarawih ,
pengumpulan mushaf
- Bid’ah dhalalah Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid’ah yang sesat.
- Kriteria bid’ah hasanah
Kriteria bid’ah hasanah antara lain
:
- termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
- masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
- tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
- dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
- Contoh-contoh bid’ah hasanah
Adapun Contoh-contoh bid’ah hasanah
antara lain :
- Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah. Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.
- Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab.
- Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat menjadi dua kali.
- Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.
- Belajar ilmu Bahasa Arab yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan pembahasan yang mendalam dalam ilmu Tasau
- Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
- Shalat Tasbih dengan berjama’ah.
- Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat jenazah
- Membaca shadaqallahuh ‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak ada dalil khusus dari syara’
- Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi ……dst sebelum khutbah Jum’at.
- Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
- Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan lainnya dalam mashaf al-Qur’an
- Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Pendapat ulama mengenai amalan yang
tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
- Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan
kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat
dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun
dari demikian adalah bid’ah terpuji
- Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan
sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah
dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa
(terpetunjuk/benar.
- Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar
Dengan demikian, maka bid’ah hasanah
dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah
dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama
yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid
agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut
tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka
perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah
merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa
amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan
qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima
pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok
pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya
sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok
kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas
adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang
dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh
dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada
keterangan ulama di bawah ini :
- Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi
SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak
ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.”[52]
- Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
- wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
- haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
- sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
- makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
- mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman.[53]
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf
sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’
hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan
yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu
wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed
Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian
bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
- Ibnu Katsir membagi bid’ah menjadi dua, yaitu :
- Bid’ah menurut syar’i , seperti sabda Nabi SAW :
“Setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
- Bid’ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat taraweh berjama’ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
“Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan
ini.”[54]
- Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan
“muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada
syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada
dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena
itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya
bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh
dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela.[55]
Pada kali lain, Ibnu Hajar
al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW,
“setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada
dalil secara khusus atau umum dari syara’
- termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
- masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
- tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
- dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
2.6 Bid’ah dalam kaidah hukum /
syariat
- Bid’ah wajib
Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid’ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
مَا لاَيَتِمُّ
الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”
- Bid’ah haram
Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji’ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur’an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya. - Bid’ah sunah
Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum’at. - Bid’ah makruh
Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur’an. - Bid’ah mubah
Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur’an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.
Mengenai
bid’ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam
untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa
saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan
sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan
kelompok lainnya.
2.7 Pandangan Bid’ah dari kelompok
atau aliran lain
- Doktrin tasyrikatau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari Syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrikini misalkan memuat larangan agar umat Islam tidak boleh mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meningal, untuk dijadikan perantara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah.
- konsep yang kerap mewarnai doktrin-doktrin kaum Wahabi adalah apa
yang disebut dengan bid’ah.
Bid’ahmenurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik
keagamaan yang tidak
didasarkan atau tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an
dan Sunnah serta otoritas sahabat
Nabi. Sehingga konsep bi’dah versi Wahabi
ini biasanya dipasangkan sebagai
lawan negatif dari sunnah. Dengan demikian,
menegakkan sunnah melibatkan
tindakan meninggalkan bid’ah. Kaum Wahabi
tidak mengakui adanya bid’ah yang
baik (bid’ah hasanah), melainkan seluruh
bid’ahitu adalah negatif dan
didefinisikan secara kronologis: bid’ahadalah seluruh
praktik atau konsep keagamaan yang
baru ada setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan
demikian, periode perkembangan
konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa
diterima tidak hanya meliputi dua
generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi
sahabat dan tâbi‘în, tetapi juga
periode para imam empat mazhab fikih Sunni
- Konsep lainnya yang banyak mendapat penekanan dari kaum Wahabi adalah
soal taklid dan hukum bermadzhab.
Taklid dan bermadzhab bagi Ibnu Abdul
Wahab merupakan salah satu perbuatan
yang telah mengarah pada pengkultusan
seseorang, padahal menurut Wahabi
tidak ada yang patut dikultuskan kecuali
hanya Allah semata. Oleh karena itu,
satu-satunya rujukan atau tempat berpaling
umat Islam itu hanyalah al-Qur’an
dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi
2.8 Pandangan dan Respon NU terhadap Aksi klaim syirik
tentang bid’ah dari kelompok lain
- Respon dari Kalangan NU Struktural
Agenda programatik tersebut ada yang
bersifat kelembagaan dan ada juga
yang bersifat praksis gerakan. Untuk
yang kelembagaan, Musykerwil tahun 2012
mengagendakan untuk melakukan
konsolidasi organisasi melalui Turba (turun ke
bawah) ke PCNU-PCNU di lingkungan
DIY. Turba ini dilakukan dengan tujuan
untuk:
1) Sebagai upaya transformasi
pengetahuan tentang peta gerakan keagamaan
yang berkembang di Indonesia
belakangan ini, termasuk di dalamnya tentang
Wahabisme.
2) Sebagai upaya penyegaran terhadap
gerak langkah organisasi dalam
upaya pembentengan warga atau
anggota NU dari infiltrasi kelompok-kelompok
yang berusaha mengancam akidah NU,
khusunya dari pengaruh Wahabi
dalam hal praksis gerakan,
Musykerwil PWNU tahun 2012,
melalui lembaga dan lajnah yang ada
di bawahnya telah menyusun sejumlah program strategis untuk
merespon gerakan Wahabisme yang semakin marak muncul
di Yogyakarta. Program-program
stretegis itu antar lain adalah:
1) Mendirikan sejumlah Radio
Komunitas (Rakom) di 5 PCNU di DIY.
2) Menerbitkan kembalimajalah
“Bangkit” sebagai media silaturrahim dan sekaligus kampanye bagi ajaranajaran
NU.
3). Membuat wibsite resmi PWNU DIY.
4). Membangun kerjasama dengan
media-media populer di Jogja untuk kampanye Islam ala NU.
5). Penguatankapasitas guru-guru
Aswaja yang ada di sekolah-sekolah LP Ma’arif NU.
6).Melakukan pendataan sekaligus
pendampingan terhadap masjid-masjid NU.
7).Menerbitkan sejumlah buku yang
menjelaskan tentang dalil-dalil amaliyah NU.
Dan
8). Menyelenggrakan sejumlah kajian
tentang peta gerakan Islam kontemporer
di sejumlah pesantren-pesantren NU
di DIY.
Ke tujuh program di atas, dalam
investigasi yang penulis lakukan, secara
jelas dan terang-terangan diarahkan
untuk merespon kuatnya dakwah Wahabi di
Yogyakarta. Radio
komunitas misalkan, didirikan sebagai upaya mengimbangi
pengaruh-pengaruh radio yang
dikelola oleh kelompok Wahabisme maupun
kelompok keagamaan yang bercorak
Wahabi seperti Radio MTA (Majelis Tafsir
al-Qur’an). Begitu pula, majalah
“Bangkit” diterbitkan kembali sebagai upaya
membentengi warga NU DIY dari
pengaruh majalah-majalah yang beraliran Wahabi
yang marak sekali muncul di
Yogyakarta. Sedangkan penguatan guru-guru Aswaja
adalah sebagai ihtiyar untuk
memantapkan pemahaman dan keyakinan pelajarpelajar Ma’arif terhadap ideologi
dan amaliyah NU yang belakangan ini banyak
dicela dan diharamkan oleh kelompok
Wahabi. Demikian juga dengan pendataan
masjid-masjid yang diidentifikasi
sebagai masjid NU juga sebagai respon atas
banyaknya upaya infiltrasi dari
kelompok Wahabi ke dalam masjid-masjid NU maraknya dakwah Wahabi yang kerap
menyerang dan membid’ahkan amaliyah
NU ini, pengurus ranting NU Sitimulyo
meresponnya dengan mengadakan sejumlah
kajian yang berisi tentang penguatan
dalil-dalil amaliyah NU dan kajian
kitab Aswaja pada setiap hari Sabtu Pon keliling
di rumah-rumah. Kajian ini
sebenarnya sudah ada sejak lama dan sempat vakum
ketika gempa 2006 lalu. Dengan
maraknya dakwah Wahabi, sejumlah orang yang
sudah sejak awal setia dengan
amaliyah NU ini merasa perlu mengaktifkan lagi
dan diisi dengan kajian kitab
Aswaja. Bila sebelumnya kegiatan ini hanya berupa
mujahadah, namun sekarang justru
ditambah dengan kajian kitab.34
Sedangkan dikalangan ibu-ibu,
kegiatan-kegiatan shalawatan justru sekarang semakin semarak. Setiap RT di desa
Sitimulyo kini memiliki kelompok shalawatan yang dilantunkan oleh ibu-ibu
muslim desa itu. Mereka berkelilig dari satu rumah ke rumah lainnya untuk
melantunkan nyanyian berisi puji-pujian kepada Nabi Muhamamd Saw ini. Begitu
pula di kalangan pemuda dan pemudi desa Sitimulyo, shalawatan kini
sudah menjadi “magnet” yang mampu mempertemukan mereka dalam forum-forum yang
sebelumnya tidak mereka lakukan. Bila sebelumnya tradisi shalawatan ini hanya
dilakukan oleh kaum ibu-ibu, dalam dua tahun terakhir ini Implikasi Gerakan
Anti-Wahabisme NU terhadap Deradikalisasi derajat (dignity) kemanusiaan.
Respon dari Kalangan NU Kultural
- menggelar sejumlah kajian dan ritus-ritus yang bercorak ke-NU-an seperti tahlilan, shalawatan dan semaan di lingkungan UGM
- Sejumlah Gerakannya adalah ;
1). Menyelenggarakan dauroh KMNU di
sejumlah pesantren milik kiai NU di kawasan Yogyakarta.
2). Menyelenggarakan Kajian rutin
yang diberi nama KISWAH (Kajian Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah) setiap hari
minggu di Masjid Kampus UGM.
3). Menggelar sejumlah acara
amaliyah NU seperti tahlilan, shalawatan dan semaan berkeliling dari satu
fakultas ke fakultas yang lain di lingkungan kampus UGM.
4). Melakukan infiltrasi keejumlah
masjid atau mushalla di lingkungan UGM dengan cara menjadi relawan atau takmir
di masjid tersebut.
5). Pendampingan terhadap mahasiwa
baru dari
kalangan santri NU agar tidak masuk
ke kelompok keagamaan di luar NU
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Bid’ah merupakan suatu perkara yang
belum pernah ada di zaman rasulullah SAW, bid’ah dibagi menjadi 2 yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dhalalah . respon terhadap klaim dari kelompok lain Nu khususnya
di wilayah yogyakartab membuat berbagai program untuk mengantisipasi adanya
tindak ekstrimisme dari golongan lain terhadap bid’ah. Perlu adanya gerakan –
gerakan dari seluruh tatanan masyarakat nu baik dari tatanan strruktural maupun
kultural guna mewujudkan warga nu yang menjunjung tinggi nilai” islamiyah.
Daftar Pustaka
Jurnal Anam, Choirul, Pertumbuhan,dan Perkembangan
Nahdlatul Ulama, Solo: Penerbit
Jatayu, 1984.
Komentar
Posting Komentar