PARADIGMA POLITIK MENURUT ASWAJA
PARADIGMA POLITIK MENURUT ASWAJA
Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam
suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi
kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah
musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)
hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga
sebagaimana mengurus jenazah jika sebagian orang sudah mengurus
berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep
berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar
(rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak
membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang
membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu
sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara.
Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi,
kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan
kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang
persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa
diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara
tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di
dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak
sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka
praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.
·
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh
suatu negara tersebut adalah:
a. Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip
ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ
فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ
آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ
الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ
يَنتَصِرُونَ
Terjemah :”Maka sesuatu apapun yang
diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada
sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan
kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
lalim mereka membela diri”.
Menurut
ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman
billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir),
memberi ma’af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat,
memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan musyawarah merupakan suatu
bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-’Adl (Keadilan)
Menegakkan
keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat)
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang
dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’ 4:58
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Terjemah :“Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha
mendengar lagi maha melihat”.
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan
dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan
hak-hak mereka. Hak-hak tersebut dalam syari’at dikemas dalam al-Ushul
alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri)
bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:
a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas
jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dimiliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul ‘lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.
Kelima
prinsip di atas beserta uraian dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak
Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua
warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki
kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan,
ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari
beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa
sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem
demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu
kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan
rakyat (civil society) sebagai amanat dari Allah.
Harus
kita akui, bahwa istilah “demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an
maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan
di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan
bernegara menurut Aswaja.
Dalam
era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia
banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas
kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia
sudah menjadi “perkampungan dunia”, maka demokrasi harus dapat ditegakkan.
Pada
masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai
suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut
sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan
pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan
sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan
satu-satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah
yang bersifat plural.
Dengan
demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai
sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh
bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang
mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran tersebut pasti banyak mengubah wacana
pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara
dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan
hal-hal yang sudah paten (qath’iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan
bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin
(presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.
·
METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ
ALFIKR) ASWAJA
Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham
ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun akhlak (ihsan), maka
bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj alfkr) yang tengah
dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun), netral
atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi pemikiran
ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim),
baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk
mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip
metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran,
sikap, perilaku dan gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat
yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan
bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam
mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari
solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada
firman Allah:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Terjemah : “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Albaqarah:
143)
b. Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam
mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil (pijakan hukum) atau
pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah keputusan dan kebijakan.
Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip tawâzun menghindari
sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan
fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan
liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun ini
didasarkan pada firman Allah:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Terjemah : “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan”. (QS. Alhadid: 25)
c. Ta'âdul (Netral dan Adil)
Ta'âdul ialah sikap adil dan netral dalam
melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala permasalahan. Adil tidak
selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul). Adil adalah sikap
proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan
menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas
individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala sifat-sifatnya.
Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul(keunggulan), maka
keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan
antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya
yangbertentangan dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini
berdasrkan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Terjemah :”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa”. (QS. Alma'idah: 9)
d. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai
terhadap segala kenyataan perbedaan dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran,
keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain
sebagainya.
Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan
bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan
kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan
dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap
harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang haq dan benar harus
tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan toleransi
agama, Allah swt. berfirman:
لَكُمْ دِينُكُمْ
وَلِيَ دِيْنِ
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun:
6)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa,
ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi dan budaya yang telah
menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan ASWAJA, tradisi-budaya yang
secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan
menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh (toleransi),
berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan sebagai sesama
umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar sesama makhluk Allah
di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang madani. Dari
sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah
islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah(persaudaraan
kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insâniyyah(persaudaraan
kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan
di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah swt.:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. (QS. Alhujurat; 13)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi“. (QS. Albaqarah: 30)
·
ESENSI KHILAFAH DALAM
PANDANGAN ASWAJA
Dalam pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat
dari sebuah pemerintahan atau negara (khilafah), adalah sebagai salah satu
diantara instrumen (wasâ'il) untuk usaha terwujudnya aplikasi syariat
secara totalitas (kâffah) dalam kehidupan umat melalui kewajiban
menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang menjadi cita-cita dan
tujuan akhirnya (maqâshid). Karena kedudukannya yang dipandang sebagaiwasîlah untuk maqâshid berupa
tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak
harus terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu.
Apapun sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas
dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya.
Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan
—sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Pendirian Khilafah Islamiyah bagi ASWAJA
(baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah cita-cita urgen,
sebab eksistensinya hanyalah sebagaiwasîlah. Ada cita-cita (maqâshid)
yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar membentuk instrumen
perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah
kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa
dilangsungkan tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan seperti inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU)
yang tidak ambisi dan bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia.
Karena khilafah bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk
menegakkan syariat dalam kehidupan umat. Bahkan selama ini, setiap usaha
merubah bentuk dan dasar hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan
ekses negatif yang justru merugikan kaum Muslimin sendiri. Gerak perjuangan
ASWAJA (NU) dalam konteks Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan
Khilafah Islamiyah, melainkan semangat perjuangan menegakkan syariat dalam
perilaku keseharian umat. Dengan kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak
dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah wadah syariat secara formal, berupa
bentuk khilafah atau sistem negara Islam, melainkan lebih dikonsentrasikan pada
perjuangan aplikasi syariat dalam perilaku umat sehingga menjadi ruh dan
substansi perilaku kehidupan masyarakat. Perilaku umat yang berlandaskan
syariat jauh lebih penting dan lebih baik dibanding sekedar formalitas bentuk
dan sistem negara islami.
Hal ini logis, sebab jika kita jujur membaca
fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang layak dilabeli dengan
'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa'
Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin,
secara umum telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan
sistem kekaisaran Romawi dan Persi. Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan
bahwa sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai
produk kafir, sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah
pemerintahan paling demokratis dari sistem demokrasi manapun.
Disamping itu, misi pendirian kembali Khilafah
Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan gerakan Islam dalam konteks
Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya mengusung misi mendirikan
negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan idiologi aliran mereka,
seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak akan mendirikan
Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga menjadi paham dan
idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil didirikan, bukan
mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan dengan paham
mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan paham
Wahhabinya.
Inilah yang menjadi alasan fundamental kenapa
ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung Khilafah
Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila. Dengan
kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah menjiwai
sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat bangsa
Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan resiko
ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan
Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara
di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah,
melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan
menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari
sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindari kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan
kemaslahatan
Apabila sejauh ini dikenal tiga model hubungan agama-negara,
yaitu hubungan intergasi (agama dan negara adalah satu kesatuan); hubungan
sekuler (pemisahan peran agama dalam pemerintahan); dan hubungan simbiosis
(agama-negara terpisah namun saling membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik),
maka model ketiga inilah yang menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan
agama dan negara. Agama tidak harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan
bentuk suatu negara, namun agama juga tidak boleh diceraikan dari intervensi
peran politik.
Pandangan politik ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan
dengan muatan surat Alma'idah ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim
dan fasiq bagi orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan
Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq dalam tiga ayat tersebut meski berlaku
bagi umat Islam atauahli alkitab (non Muslam), namun bila dilakukan
orang mukmin, menurut Thawus:“kekafiran itu tidak mengeluarkannya dari
agama“. Dan menurut Atha'; “kekafiran di bawah kekafiran,
kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah kefasikan".
Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim yang tidak
memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi dua. Ibn
Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan Allah,
maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak menerapkannya,
maka dia dhalim atau fasiq”.
Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak memberlakukan
hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau karena
justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti ancaman
disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir, dhalim dan
fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.
Komentar
Posting Komentar